Dugaan Pungli Di Sekolah Negeri Menggila, Apip Dan Penegak Hukum Dinilai Tutup Mata

Dugaan Pungli Di Sekolah Negeri Menggila, Apip Dan Penegak Hukum Dinil
08-Nov-2025 | sorotnuswantoro Purbalingga

Aroma busuk praktik pungutan liar (pungli) di lingkungan pendidikan kembali menyeruak. Ironisnya, tak satu pun lembaga pengawas internal maupun aparat penegak hukum yang benar-benar turun tangan. Masyarakat mulai geram karena laporan demi laporan hanya berakhir di meja birokrasi tanpa hasil yang nyata.

Kasus terbaru yang mencuat di SMP Negeri 1 Padamara menjadi bukti bahwa sistem pengawasan di sektor pendidikan diduga mandul. Sejumlah wali murid mengeluhkan adanya pungutan dengan berbagai dalih, mulai dari iuran map rapor, program P5, hingga sumbangan fasilitas "indoor" dan laptop yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah. Total beban sumbangan per siswa disebut-sebut menembus Rp 860 ribu, sementara untuk pengadaan laptop nilainya bahkan diduga mencapai Rp 80 juta.

Menanggapi hal itu, Titik Widajati selaku Kepala Sekolah SMPN 1 Padamara menegaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari program kerja sekolah yang juga didorong oleh komite.

Titik Widajati, "Tidak harus koordinasi ke inspektorat karena ini adalah program kerja dari sana, kalau suatu saat ada inspektorat ke sini nanti kami sodorkan," ujarnya.

Titik menambahkan, pengadaan laptop dilakukan untuk menunjang proses digitalisasi pembelajaran. "Kalau wali murid mau gratis, ya jangan minta yang aneh-aneh, jangan minta prestasi. Komite merasa perlu mencari dana untuk menambah 10 unit komputer karena yang lama sudah tidak layak. Kalau tidak ditambah, jangan kecewa, nanti kita bisa nebeng ke sekolah lain," imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Komite SMPN 1 Padamara membantah tudingan bahwa pihaknya melakukan pungutan liar. Ia menyebut, komite hanya menjalankan fungsi mendukung kegiatan sekolah, bukan memungut iuran wajib. "Kami tidak pernah meminta iuran, komite hanya melakukan tugas kami yaitu membantu mencari atau membiayai seluruh kegiatan sekolah. Komite tidak boleh melakukan pungutan, hanya mendorong wali murid untuk menutupi kekurangan dari dana BOS, seperti untuk map rapor, program P5, hingga sumbangan fasilitas indoor dan laptop," terangnya.

Lebih lanjut, ia menyatakan akan melaporkan hasil penggalangan dana wali murid kepada Dinas Pendidikan. "Saya wajib melaporkan ke dinas hasil sumbangan wali murid untuk keperluan tersebut. Kalau tidak ada tambahan laptop, nanti saat ujian kita bisa nginduk ke sekolah lain karena sekarang semuanya sudah digital," jelasnya.

Meski demikian, masyarakat menilai langkah-langkah tersebut tetap berpotensi menyalahi aturan. Jika benar terjadi pungutan yang bersifat wajib, maka hal itu jelas melanggar Permendikbud No. 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan. Bahkan, bila terbukti adanya unsur paksaan atau penyalahgunaan jabatan, dapat dijerat Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tipikor dengan ancaman penjara hingga 20 tahun.

Namun hingga kini, belum ada langkah konkret dari Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Dinas Pendidikan, maupun aparat penegak hukum. Prosedur pengaduan yang berbelit dan minim transparansi justru membuat orang tua murid frustrasi. Tak pernah ada audit terbuka, sidang, atau tindak lanjut yang jelas. Padahal, dugaan pungli di dunia pendidikan bukan cerita baru di Purbalingga sudah seperti penyakit menahun yang dibiarkan membusuk tanpa obat.

Sikap diam APIP dan lemahnya respons dinas pendidikan kini dipertanyakan publik. Jika lembaga pengawasan internal saja tidak berfungsi, lalu siapa yang bisa diandalkan untuk menegakkan keadilan bagi rakyat kecil yang terjepit biaya pendidikan?

Sementara pemerintah terus menggaungkan slogan "pendidikan gratis", di lapangan justru muncul ironi: orang tua masih harus membayar dengan berbagai nama, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya ditanggung oleh dana BOS.

Masyarakat menilai, sudah saatnya kejaksaan dan inspektorat turun tangan, bukan hanya sebatas klarifikasi di atas kertas. Jika dibiarkan, praktik seperti ini bukan hanya mencoreng dunia pendidikan, tetapi juga mencabik kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.

"Pendidikan gratis hanyalah slogan di baliho, tapi di kelas, orang tua masih harus bayar demi rapor dan kursi belajar," ujar salah satu wali murid dengan nada kecewa.

Kini bola panas ada di tangan pengawas dan penegak hukum. Publik menunggu, apakah kali ini kasus dugaan pungli di sekolah negeri akan benar-benar dibuka di meja hijau, atau kembali menguap tanpa jejak seperti kasus-kasus sebelumnya.

Tags