Ketua Firma Hukum Kalimasada Kecam Keras Praktik Bank Gelap Di Desa Kebutuh Dan Akan Sikat Habis
Warga Kebutuhan Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga kembali dikejutkan oleh munculnya dugaan praktik penghimpunan dana masyarakat tanpa izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau yang lazim disebut "bank gelap". Kegiatan ini diduga telah berlangsung bertahun-tahun di lakukan oleh seorang perempuan yang bernama Atun yang melibatkan banyak kordinator lapangan.
Praktik tersebut berawal dari kegiatan tabungan parsel lebaran, di mana para kordinator yang di akomodir menghimpun dana dari warga untuk dibelikan paket sembako menjelang hari raya. Namun, dana yang terkumpul diduga diputar menjadi kegiatan transaksi utang kepada masyarakat dengan bunga tinggi.
Dikonfirmasi oleh awak media, Atun tidak membantah bahwa dirinya menghimpun uang dari warga, namun menegaskan bahwa dana tersebut digunakan untuk kegiatan usaha pribadi, bukan untuk di pinjamkan dengan bunga tinggi.
"Iyah memang benar saya menghimpun uang dari masyarakat untuk saya kembalikan lagi berupa paketan parsel sembako saat mau lebaran. Uang itu sebagian untuk muter dagangan saya, dan beli sapi kecil yang kami besarkan untuk dipotong saat lebaran dan dibagikan ke warga lagi, sisanya untuk muter Sumi dan teman-teman," ujar Atun.
Atun menambahkan, “tapi saya tidak tahu kalau uang parsel saya diputar sama Sumi untuk pinjaman bunga sebesar itu, saya juga bingung utang 48 juta bisa menjadi 147 juta," tambahnya dengan nada heran.
Namun, muncul kejanggalan dari pernyataan tersebut, jika benar Atun tidak mengetahui adanya praktik rentenir, mengapa pihak keluarga Atun yang menjabat sebagai Kepala Desa justru ikut melakukan penagihan empat kali kepada narasumber kami yang menjadi korban.
Fakta ini menimbulkan pertanyaan baru, apakah pemerintah desa mengetahui dan membiarkan praktik "bank gelap" ini berjalan selama bertahun-tahun?
Salah satu korban, Eko Prianto, mengaku menjadi korban penggelembungan tagihan secara sepihak.
"Awalnya saya pinjam 48 juta, sudah saya kembalikan 18 juta dibulan itu dengan bunganya, sampai sekarang uang saya yang masuk ke Sumi diakumulasi kurang lebih hingga 70 juta. Dulu katanya sisa saya masih 30 juta, namun sekarang tagihanya berubah menjadi 147 juta. Saya kaget dan merasa tidak pernah tanda tangan perjanjian bunga setinggi itu," ungkap Eko.
Sementara itu, Sumi juga memberikan keterangan saat di kantor redaksi dan membenarkan pinjaman pokok Eko senilai 48 juta, karna Sumi memiliki pertanggung jawaban kepada Atun Sumi meminjam bank atas inisiatifnya senilai 100juta yang di bebankan kepada Eko dan di akumulasi sebagai hutang Eko dengan bunga pinjamannya.
Dari keterangan para pihak, terdapat indikasi kuat pelanggaran terhadap Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang secara tegas melarang kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat tanpa izin dari OJK.
Disikapi oleh ketua Firma Hukum Kalimasada Nusantara Ary Herawan, S.H, “praktik bank gelap ini merupakan perbuatan melawan hukum (PMH) dan di duga kuat merupakan perbuatan pidana, ancaman hukuman yang dapat dikenakan dalam perihal ini adalah Pasal 46 ayat (1) UU Perbankan: pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda hingga Rp10 miliar”. Ungkapnya
“Jika memang terbukti kepala desa ikut terlibat melakukan penagihan atau membiarkan praktik bank gelap ini berjalan, maka dapat pula dijerat dengan Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang jabatan, dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun”.
Ary menambahkan, “Kasus ini akan kami dilaporkan ke pihak berwenang dan kami akan bersurat ke pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) untuk dapat ikut serta dalam membasmi praktek bank gelap”. Pungkasnya
Reporter : Rijal Aulia Azam