Dugaan Intimidasi Keluarga Mahasiswi Oleh Pihak Universitas Muhammadiyah Tegal: Orang Tua Dipaksa Buat Video Klarifikasi Dan Permintaan Maaf

Dugaan praktik intimidasi oleh pihak Universitas Muhammadiyah Tegal (UMT) terhadap keluarga mahasiswi Mei Astri Prihastuti mencuat ke publik setelah beredarnya bukti percakapan dan kesaksian yang menunjukkan adanya tekanan dan ancaman hukum terhadap orang tua mahasiswa agar membuat video permintaan maaf terkait pemberitaan di media daring Sorot Nuswantoro.
Kasus ini bermula dari tayangnya berita berjudul “Penahanan Ijazah dan Dugaan Pelecehan Verbal di Universitas Muhammadiyah Tegal” yang ditulis oleh jurnalis Andika Bagus Cahyo Setyawan. Laporan tersebut mengulas fakta mengenai penahanan ijazah milik Mei Astri Prihastuti meskipun telah dinyatakan lulus oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Namun, setelah berita tersebut dipublikasikan, muncul rangkaian tindakan yang diduga sebagai upaya tekanan dan intimidasi terhadap keluarga Mei, terutama kepada kedua orang tuanya, Supriyadi dan Endang Trinasih.
Pemanggilan dan Permintaan Video Klarifikasi
Menurut keterangan keluarga, Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Tegal, Teguh Rimbawan, melalui perantara, meminta agar ibu Mei membuat video permintaan maaf dan klarifikasi atas pemberitaan tersebut. Pesan yang terekam dalam percakapan menunjukkan adanya instruksi agar video tersebut dikirim kepada pihak rektorat.
Dalam percakapan berbahasa Jawa yang tersebar, tertulis:
“ORA ibu diundang Maring kantor btm kon nggawe video ibu kon mengklarifikasi tentang unggagane Dika permintaan maaf mau ibu karo Pak Teguh wis ngunggah video pan dikirimna Maring rektorre...”
Pesan tersebut menandakan bahwa pihak kampus menghendaki video klarifikasi resmi yang dianggap sebagai bentuk permintaan maaf keluarga Mei atas berita yang sudah terbit.
Endang Trinasih, ibu Mei, mengaku merasa tertekan dan takut setelah mendapat pesan tersebut.
“Saya diminta membuat video klarifikasi dan minta maaf atas berita itu. Kalau tidak, katanya kampus akan membawa masalah ini ke ranah hukum. Padahal berita itu bukan saya yang menulis,” ujar Endang, dengan nada haru.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Supriyadi, ayah Mei Astri Prihastuti.
“Kami merasa ditekan. Kami hanya orang tua mahasiswa, kenapa justru kami yang diminta bertanggung jawab atas berita. Ini membuat keluarga kami tidak tenang,” ungkapnya.
Ancaman Hukum dan Dugaan Intimidasi
Dalam percakapan lain yang turut beredar, salah satu pihak yang disebut menyampaikan pesan dari Pak Teguh menulis bahwa berita harus segera dihapus, atau akan dibawa ke jalur hukum.
Isi pesannya berbunyi:
“Aku cuma menyampaikan pesan Pak Teguh, yang diminta untuk take down berita itu, kalau tidak akan menempuh jalur hukum.”
Kalimat tersebut menegaskan bahwa ancaman hukum disampaikan sebagai konsekuensi jika berita tidak dihapus. Pihak keluarga menilai hal ini merupakan bentuk tekanan psikologis dan intimidasi, terlebih dilakukan terhadap warga sipil yang tidak memiliki kapasitas sebagai penulis berita.
Latar Belakang Kasus: Penahanan Ijazah Mei Astri Prihastuti
Sebelumnya, Mei Astri Prihastuti menyampaikan bahwa meskipun datanya sudah tercatat lulus di sistem Kemendikbudristek, pihak Universitas Muhammadiyah Tegal belum menyerahkan ijazahnya karena alasan tunggakan administrasi.
Padahal, menurut Peraturan Mendikbud Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan Penahanan Ijazah, perguruan tinggi tidak diperkenankan menahan ijazah atas alasan apa pun, termasuk tunggakan biaya kuliah.
Mei juga menyebut adanya dugaan pelecehan verbal dari salah satu dosen di lingkungan kampus, yang turut ia sampaikan kepada media. Hal itu menjadi bagian dari laporan investigatif yang dipublikasikan oleh Sorot Nuswantoro.
Kuasa Hukum: Tindakan Kampus Berpotensi Langgar Hukum
Kasus ini kini resmi didampingi oleh Mugiyatno, S.H., M.Kn., CTA, selaku kuasa hukum dan pakar hukum yang mewakili Mei Astri Prihastuti dan keluarganya. Dalam keterangannya, Mugiyatno menilai bahwa tindakan yang dilakukan pihak kampus berpotensi melanggar hukum pidana dan prinsip hak asasi manusia.
“Jika benar ada tekanan, ancaman, atau pemaksaan untuk membuat video permintaan maaf, itu termasuk dalam kategori intimidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan dengan ancaman atau paksaan,” jelas Mugiyatno.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa ancaman hukum terhadap keluarga yang bukan pelaku jurnalistik adalah bentuk penyalahgunaan wewenang dan bisa masuk dalam kategori abuse of power.
“Pihak kampus tidak boleh menggunakan kekuasaan akademik untuk menekan masyarakat. Jika berita tersebut dirasa tidak benar, mekanisme yang sah adalah melalui hak jawab, bukan intimidasi. Kami siap membawa kasus ini ke ranah hukum,” tegasnya.
Mugiyatno juga menjelaskan, apabila terbukti terjadi intimidasi, pelaku dapat diancam pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda hingga Rp45 juta sesuai ketentuan dalam KUHP.
Hak Jawab Pihak Universitas
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Universitas Muhammadiyah Tegal belum memberikan tanggapan resmi. Namun, dalam salah satu pesan yang beredar, seseorang yang mengaku menyampaikan pesan dari kampus menyebut tidak ada intimidasi, dan bahwa permintaan klarifikasi dilakukan secara baik-baik.
Meski demikian, dari perspektif hukum dan psikologi sosial, tekanan yang membuat seseorang merasa takut, terpaksa, atau cemas tetap dapat dikategorikan sebagai intimidasi non-fisik.
Kasus dugaan intimidasi terhadap keluarga Mei Astri Prihastuti menjadi sorotan publik karena menyangkut kebebasan berekspresi, hak akademik, dan perlindungan hukum bagi warga sipil.
Kuasa hukum berkomitmen untuk melaporkan peristiwa ini ke aparat penegak hukum apabila ditemukan unsur pelanggaran pidana. Sementara itu, pihak keluarga berharap agar Universitas Muhammadiyah Tegal menghormati proses hukum