Ppwi Lebak: Jika Setiap Teguran Guru Dilaporkan, Masa Depan Disiplin Moral Etika Siswa Terancam

Sekretaris Jenderal Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Kabupaten Lebak, Encep Mulyadi, turut angkat bicara terkait viralnya kasus seorang kepala sekolah yang dipolisikan lantaran menegur dan menampar siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah.
Menurut Encep, tindakan kepala sekolah tersebut tidak bisa langsung dilihat sebagai bentuk kekerasan, melainkan bagian dari upaya mendidik dan menegakkan disiplin di dunia pendidikan.
"Guru dan kepala sekolah itu punya tanggung jawab moral untuk menjaga marwah pendidikan. Menegur anak yang berbuat salah bukan karena benci, tapi karena sayang. Kalau setiap tindakan tegas dianggap kekerasan, nanti siapa yang berani mendidik?” tegas Encep Mulyadi, Rabu (15/10/2025).
Ia menambahkan, dalam dunia pendidikan, disiplin dan ketegasan merupakan bagian dari proses pembentukan karakter siswa. Jika setiap teguran dilaporkan ke aparat penegak hukum (APH), maka yang rusak bukan hanya wibawa guru, tapi juga tata nilai moral dan etika siswa di sekolah.
"Kalau setiap kali guru menegur langsung dilaporkan, maka moral, etika, dan adab siswa akan hilang. Anak-anak akan tumbuh manja, merasa selalu benar, dan tidak menghormati gurunya. Ini sangat berbahaya untuk masa depan pendidikan kita,” ujar Encep.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa sekolah memiliki aturan tegas soal larangan merokok, baik bagi siswa maupun tenaga pendidik. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, serta diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dalam Pasal 115 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 disebutkan:
“Merokok dilarang di tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, dan tempat anak bermain.”
"Artinya jelas, sekolah adalah kawasan tanpa rokok. Jadi ketika kepala sekolah menegur siswa yang merokok, beliau sedang menjalankan aturan dan menjaga lingkungan pendidikan agar tetap sehat dan bermartabat,” tambah Encep.
Encep juga menyoroti fenomena sebagian orang tua yang justru membela anaknya tanpa melihat konteks pelanggaran. Menurutnya, hal itu akan menimbulkan dampak buruk jangka panjang bagi pembentukan karakter anak.
"Peran orang tua seharusnya mendukung sekolah dalam mendidik anak. Bukan justru menjadi pengadil yang memperlemah wibawa guru. Kalau guru takut menegur, maka pendidikan akan kehilangan arah dan generasi muda kehilangan teladan,” jelasnya.
Meski demikian, Encep menegaskan bahwa dirinya tidak membenarkan tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun di lingkungan pendidikan.
"Saya tegaskan, saya bukan mendukung kekerasan di sekolah atau tindakan berlebihan dari siapapun, termasuk kepala sekolah. Tapi kasus seperti ini seharusnya dilihat secara bijak dan proporsional. Jangan sampai niat mendidik malah disalahartikan,” tutur Encep.
Ia juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap masa depan dunia pendidikan jika pola semacam ini terus terjadi.
"Kalau begini terus, setiap kali guru menegur atau menasihati siswa lalu dilaporkan ke aparat, mungkin ke depan tidak akan ada lagi guru yang mau mengajar dengan tegas. Semua akan takut, dan akhirnya pendidikan kita kehilangan jiwanya,” ucapnya tegas.
Encep berharap pemerintah daerah dapat lebih bijak dan adil dalam mengambil keputusan yang menyangkut tenaga pendidik, agar wibawa pendidikan tetap terjaga dan para guru tidak merasa takut menegakkan aturan.
"Kalau setiap kepala sekolah atau guru yang tegas langsung dinonaktifkan, maka tidak akan ada lagi yang berani mendisiplinkan siswa. Ini berbahaya untuk moral dan masa depan pendidikan kita,” pungkasnya.
PPWI, kata Encep, mendorong agar aparat penegak hukum dan pemerintah melihat kasus ini secara kontekstual dan manusiawi, bukan semata dari aspek hukum, tetapi juga dari tanggung jawab moral, etika, dan pembinaan karakter siswa.
(Red)